Tv One

Senin, 09 Agustus 2010

BAKSO SOLO BU BARIYAH

(Bobo No. 12/XXVIII)



Bakso Solo Bu Bariyah memang sedap. Tak heran kalau pelanggannya banyak. Biasanya mereka saling mengajak teman. Dan kalau sudah mencicipi bakso Bu Bariyah yang menggoyang lidah itu, dijamin pasti kembali lagi.
Rasa sedap itu menjadi alasan utama Akri menjadi pelanggan. Tetapi ada alasan lain yang membuat Akri selalu menunggu kedatangan Bu Bariyah membuka warung. Bu Bariyah mudah dikibuli.
Kalau Akri mengambil lima butir telur puyuh, cukup mengatakan dua. Jadi, bisa makan enak, bayar murah. Aksi mengibuli Bu Bariyah itu tak pernah tertangkap. Aman-aman saja. Akri tahu, dua mata Bu Bariyah sudah rabun, tidak begitu teliti mengawasi dagangannya. Akri bisa kenyang jajan di sana.
Sudah satu minggu ini warung bakso Bu Bariyah tutup. Akri jadi kelimpungan. Hobinya makan bakso terpaksa terpenggal beberapa hari ini.
Suatu hari, Akri nekat makan bakso di warung lain. Tetapi uh…harganya ternyata minta ampun mahalnya. Dua kali lipat dibanding bakso Bu Bariyah. Lagi pula Akri tak bisa mencomot telur puyuh diam-diam. Penjualnya selalu melirik setiap suapan Akri. Ia jadi tak berkutik. Bakso yang rasanya biasa-biasa saja itu jadi semakin tak enak. Ketika keluar warung itu, Akri bersungut-sungut.
"Huh! Uangku habis untuk makan bakso. Coba kalau warung bakso Bu Bariyah buka…"
Kerinduan Akri akan bakso Bu Bariyah sudah tak terbendung. Sekarang sudah 10 hari warung bakso Bu Bariyah tutup.
"Nanti sore jadi kan, Kri?!" Suara Aan membuyarkan semangkok bakso Solo Bu Bariyah dalam lamunan Akri.
"Eh-oh…I-iya, dong! Nanti sore, berkumpul di sini!"
Ibu Tutik Suidah beberapa hari sakit. Beberapa kali Tutik tidak masuk sekolah karena harus bergantian dengan adiknya menunggui Ibunya. Ayahnya sudah lama meninggal. Hari ini anak-anak sepakat mengunjungi ibu Tutik. Tutik anak yang baik dan ramah. Semua anak suka padanya.
"Kamu ketua kelas yang baik, Kri !" kata Tutik sambil tersenyum memandang Akri.
"Ah, aku kan hanya mengkoordinasi teman-teman. Merekalah yang patut diacungi jempol, karena sangat memperhatikan kamu," balas Akri sambil meringis. Diam-diam Akri bangga juga dipuji Tutik.
"Orang baik selalu mengelak kalau dikatakan baik," sahut Tutik.
Wajah Akri jadi merah. Dia tampak tersipu-sipu menerima pujian itu.
Sore itu lima anak sebagai perwakilan kelas bersepeda ke rumah Tutik. Rumahnya sangat sederhana. Dindingnya dari bambu yang sudah lusuh.
"Sepi sekali, Tut. Ibumu tidur?" Tanya Akri ketika sudah duduk di dalam.
"Ada di kamar. Ibu sudah menunggu kalian. Aku tadi sudah bercerita kalau kalian akan datang. Yuk, masuk!" ajak Tutik.
Ketika mereka masuk ke kamar ibu Tutik, Akri terjingkat. Di tempat tidur kayu itu ibu Tutik berbaring lemah. Beliau langsung tersenyum ketika melihat Akri.
"Ini temanmu Tut? Dia pelanggan Ibu yang sangat setia," kata Ibu Tutik sambil menunjuk Akri.
Akri jadi salah tingkah. Ternyata ibu Tutik adalah Bu Bariyah! Akri tertunduk malu. Sedih rasanya kalau ingat lima butir telur puyuh yang selalu dikunyahnya dengan nikmat. Akri tak berani memandang Bu Bariyah.
"Segera sembuh, Bu," kata Akri. Lalu dia menyambung dalam hati. Aku akan mengumpulkan uang saku untuk membayar telur-telur yang diam-diam kuambil. Entah berapa jumlahnya.


Mundur

Diambil dari Majalah Teman Bermain dan Belajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

winamp